
KAJIAN
ILMIAH ISLAM DI INDONESIA
KESENJANGAN
INTELEKTUAL DAN KULTURAL
ANTARA
INDONESIA DENGAN DUNIA ISLAM LAIN
Kajian Ilmiah ini dimulai dengan
pengenalan persoalna permasalahan Islam di Indonesia, dari segi jumlah
penganut, bangsa Indonesia merupakan kesatuan nasional umat Islam yang terbesar
di dunia. Tetapi, bila kita lihat dari kaca mata historis, pengislaman tanah
air kita relative baru. Ini bisa dilihat dari dua fakta.
Pertama,pada
waktu Dunia Islam ditandai oleh ramainya polemic pemikiran kefilsafatan dengan
al-Ghazali sebagai tokoh utamanya-tanah air kita dalam hal ini Jawa, sedang
berada dalam puncak kejayaan kerajaan Kediri, yaitu pada masa kekuasaan
jayabaya.
Kedua,Jika
kita membandingkan warisan intelektual kedua tokoh itu; al-Ghazali mewariskan
kitab Ihya’ Ulumu al-din sedangkan
jayabaya mewariskan buku jangka jayabaya.
Dengan membandingkan kedua warisan itusedkit banyaknya menggambarkan satu aspek
permasalahan Islam di Indonesia.dibanding dengan Dunia Islam pada umumnya,
yaitu adanya semacam kesenjangan intelektual. Dan kesenjangan itu semakin
diperlebar oleh factor georafis Indonesia.
Adapun kesenjangan lainya ialah
kurangnya kesadaran tentang ikonoklasme dan ikonoklastik. Buktinya masyarakat
Indonesia tidak secara mantap mengenal seni kaligrafi dan arabesk. Kemudian,
kesenjangan itu diperlebar oleh kenyataan bahwa Indonesi-disamping Turki dan
Bnagladesh- adalah sebuah Negeri Muslim yang tidak menggunakan huruf Arab untuk
menuliskan bahasa nasionalnya. And the
last, kesenjangan intelektual dan cultural antara Indonesia dan Dunia Islam
dirasakan akibat mayoritas penduduknya beragama Islam, namun pengenalan agama
Islam itu sendiri tidak melalui Dunia Arab secara langsung. Dampak kesenjangan
intelektual dan kultural ini membawa kepada sedikitnya informasi tentang
perkembangan pemikiran keislaman dari kawasan-kawasan itu ke negeri kita.
Dari semua persoalan ini, dapat
disimpulkan bahwa kajian ilmiah islam di Indonesia harus melibatkan masalah-masalah:
penelahaan kembali pemahaman orang-orang muslim terhadap agamanya, juga
penelaaahan milieu dari berbagai
segi, dan penelaahan sejarah pemikiran Islam dari masa ke masa juga perlu
didukung oleh fasilitas dan tenaga yang memadai dari segi kualitas maupun
kuantitas.
TRADISI
ISLAM DI INDONESIA SEBAGAI SUMBER SUBSTANSIASI IDEOLOGI
Setiap bangsa mempunyai etos yang
menjadi karakteristik utama bangsa itu. Perwujudan etos ini dalam bentuk
perumusan formal yang sistematik mengasilkan ideologi. Pancasila dipandang
sebagai perwujudan etos nasional disebut
sebagai ideologi nasional.Pancasila adalah sebuah ideologi modern, dinamis, dan
terbuka sebagai landasan filosofi bersama masyarakat plural di Indonesia.
Konsekuensi logis dari argument itu
ialah masyarakat dengan keanekaragamannya harus diberi kebebasan mengambil
bagian aktif dalm usaha-usaha menjabarkan nilai-nilai ideologi itu dan
mengaktualkannya ke dalam kehidupan masyarakat. Sebagai titik tolak
pengembangan pola hidup bersama.
Disisi lain Islam
adalah agama tebesar penganutnya. Agama Islam membawa berbagai pandangan baru
yang reviolusioner sifat Islam sebagai
agama egaliter radikal, juga dengan kesadaran hukumnya yang amat kuat
(kesadaran syari’ah dalam makna sekundernya) telah melengkapi penduduk
nusantara cukup menjadi alasan keabsahan perannya dalam substansiasi ideologi
nasional. Namun, kekuasaan politik Islam di Nusantara belum pernah mencapai
kebesaran dan kehebatan yang ditunjukkan oleh kekuasaan politik Budhism,
Sriwijaya, dan Hinduisme Majapahit. Sampai masuknya Barat menjajah Nusantara.
Berdasarkan pada itu semua dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia baru pada
tahap permulaan.
Di Indonesia
sendiri, umat Islam memiliki peran yang amat besar dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, walaupun sempat ada polemik dan kontroveri yang tajam
dalam masyarakat.
Berbicara mengenai
Islam dan substansi ideologi dan etos nasionaladalah berkenaan dengan fungsinya
sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam konteks kemajemukan
Indonesia. Adapun konsekuensinya ialah; keharusan penguasa memperhatikan
aspirasi umat Islam, dan kaum muslimin memikul tanggung jawab pembinaan dengan
komitmen dan menguasai keahlian yang tinggi tentang ajaran Islam maupun tentang
konteks ruang dan waktu Indonesia Modern.
MENGEMBANGKAN
ETOS KELIMUAN UNTUK INDONESIA MASA DEPAN
Perhatian yang
semakin besar terhadap pembinaan sumber daya manusia. Dapat disimpulkan bahwa
factor manusia jauh lebih mennentukan dari pada factor sumber alam. Masalah SDM
sangat ditentukan oleh etos-etos, salah satunya etos keilmuan.Sejak tahun
80-an,masa depan bangsa dan Negara kita akan sangat ditentukan oleh kehadiran
kaum terpelajar.dengtan syarat kita harus mampu mengarahkan dengan tepat.
Sehinggga tidak akan teriptanya “pengangguran intelektual”
Relevansi usaha-usaha penumbuhan dan
pengembangan etos keilmuan di kalangan Islam dilihat dari indikator
sosiologis-demografis dan historis-ideologis; rakyat Islam Indonesia telah
menunjukan kejeniusannya sebagai pendukung dan pendorong pesatnya etos keilmuan
modern sekarang yang mengacu pada etos keilmuan yang diajarkan Islam. Etos
keilmuaan Islam melakukan generalisasi yang sejajar dengan Etos ijtihad guna
mencoba memahami ide-ide dasar dalam menumbuhkan etos intelektual menuju masa
depan Indonesia lebih baik.
MENUMBUHKAN
TRADISI INTELEKTUAL ISLAM DI INDONESIA
Proses pengisalaman Nusantar tergolong sangat
cepat, sebagai umat yang relative masih muda, kaum Muslim Indonesia hanya
memiliki tradisi intelektual yang relatif muda pula. Juga adanya kesenjangan kultural
antara kaum Muslim Indonesia dengan dunia Islam pada umumnya. Keadaan ini
mengesankan kemiskinan intelektual, juga rendahnya kemmpuan kita dalam memberi respon
terhadap zaman. Untuk itu, kita perlu memiliki kekayaan dan kesuburan
Intelektual, yang disebut sebagai suatu “Tradisi Intelektual” tumbuh dan berkembang
dalam waktu yang panjang.
Berdasarkan analisa diatas, tradisi
intelektual Islam di negeri ini akan sulit sekali memilki vitalitas, jika tidak
memilki kesinambungan secara temporal dan geografis dengan pemikiran masa
lampau.
PETA
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
Pertama,
dari sudut penglihatan politik, politik Islam Indonesia mengenal pembagian
kelompok menjadi enam: pertama,
al-Takfir wa ‘l Hijrah seperti kelompok model khawarij kuno. Kedua, ialah Kelompok revolusioner yaitu
tidak percaya pada pendekatan-pendekatan konstitusional dan legal untuk
memperjangkan ide-ide mereka. Yang ketiga
ialah kelompok konsitusionalis, yang merupakan warisan kejayaan politik Islam di Indonesia zaman Masyumi. Keempat, adalah kelompok kaum akomodasionis,
ini adalah yang bekerja sama dengan pemerintahan. Kelima, adalah kelompok oportunis yang mengaku berjuang untuk Islam
tetapi sebenarnya tidak yakin akan ajaran Islam. Kelompok keenam adalah
golongan “silent majority” sebagai
rakyat pengikut saja.
Kedua,
dari sudut pemahaman umat Islam pada ajaran agamanya, dari sudut persepsi di
Indonesia diklasifikasikan menjadi golongan tradisional yang ditunjuk NU dan golongan modernisadalah eks Masyumi.
Namun pembagian itu rasanya ada sesuatu yang salah, dan kesalahan itu cukup
prinsipil.
Sering kita dengar bahwa pemerintahan
Indonesia didominasi oleh kaum priyayi dan abangan. Usaha mereka untuk
mengokohkan dan mempermanenkan Islam di Indonesia, Yaitu usaha-usaha pendirian
masjid-masjid sebagai usaha mengawetkan
ideologi suatu wilayah.

BAGIAN
KEDUA
PERAN
UMAT ISLAM INDONESIA
MENYONGSONG
ERA TINGGAL LANDAS
PERANAN
UMAT MUSLIM MEMASUKI ERA INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Pembahasan tentang
maslalah modernisasi dan jawaban terhadapnya telah sering dilakukan di
masyarakat. Revolusi Indusri di Inggris
dan Revolusi sosio-Politik di Perancis sebagai dua tonggak mencolok menandai datangnya zaman baru itu.
Perlu kita bahas secara khusus mengaitkannya pada peranan kaum Muslim dan para
cendekiawannya, dalam konteks perkembangan negeri kita menuju Era Tinggal
Landas
Memasuki zaman
modern ini, Industrialisasi dengan cirri bertumpuk pada Ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah suatu “kemestian” sosio-kultural berkenaan dengan bangsa kita
yang bersumber pada ajaran Islam akan
menjadi sepadan dengan pengingkaran terhadap suatu segi yang amat penting
menyangkut hakikat dan natur keindonesiaan yaitu unsur keislamannya. Industraliasi
juga merupakan kelanjutan dari teknikalisasi dalam usaha mengenali sifat pokok
zaman mutakhir ini.
Oleh karena
pilihan-pilhan utama pola harapan baru masyarakat zaman teknik itu bersifat
material, maka modernisasi, teknikalisasi, dan industry-alisasi membawa dampak
negative yang sangat menantang, yaitu materialisme.
Memasuki Era
Tinggal Landas yang bercirikan industrialisasi, muncul problematika krisis yang
tak terhindarkan. Sejarah permusuhan sebagian umat Muslim mempunyaisemacam naluri untuk menolak modernisasi, itupun
disebabkan oleh adanya kesan bahwa modernisasi identik dengan Barat yang
Kristen. Dan sisa-sisa sejarah permusuhan itu kemudian dipertajam oleh
sikap-sikap bangsa Barat terhadap bangsa Timur, khususnya Muslim. Sikap
tersebut dapat dimaklumi dalam konteksnya yang relevan. Namun, sikap menyamakan
antara modernisasi dan westernisasi tidak banyak mendapat dukungan sejarah.
Berdasarkan itu
semua, peranan umat Islam Indonesia dalam menyongsong masa Industrialisasi
sebaiknya kita melakukan pendekatan dari dua jurusan. Pertama, adalah pendekatan dari jurusan tradisionalisme. Kedua, pendekatan dari jurusan
keislaman. Juga peran umat Islam menghadapi Era Industialisasi dengan berusaha
melepaskan umat Islam dari trauma-trauma sejarah hubungan permusuhannya dengan
Barat.dan menumbuhkan kesadaran kepada orang-orang muslim tentang adanya
hubungan organic antara Islam Klasik dengan modernitas. Serta mengantisipasi
dampak Industrialisasi itu sendiri.
PERAN
HMI DALAM TANTANGAN PERJUANGAN YANG PROAKTIF
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
sebagai Organisasi perkaderan gerakan pemuda Islam tampil sebagai pendukung nilai-nilai
keindonesiaan dan kemahasiwaan. HMI berkiprah dalam lingkungan Asia Tenggara
dengan lingkungan budaya besar melayu. Misi HMI terdapat dalam Trilogi dakwah ‘ila ‘l-Khayr, Amar Ma’ruf, dan Nahy Munkar
yang juga merupakan poros perjuangan umat Islam sepanjang sejarah, dan menjadi
dasar-dasar keunggulan umat islam atas umat-umat yang lain. HMI banyak menghadapi tantangan, untuk
meningkatkan perannya HMI harus memberi respon pada tantangan zaman yang
berbeda dari yang pernah ada. jika dianalitis tema perjuangannya ialah “ fight
for” yaitu serentak medukung konsep bahwa Pancasila adalah titik temu berbagai
golongan di tanah air. Selain itu HMI melakukan “Fight against” misalnya
perjuangan melawan kaum pendukung anti-agama dan anti-Pancasila, khususnya PKI.
Namun, pada saat sekarang ini, prioritas perjuangan HMI yang lebih banyak
dituntut adalah kemampuan untuk berpartisipasi secara proaktif dan positif
melalui “perjuangan membangun” yang bersifat jangka panjang dengan grafik yang
harus selalu menanjak.
Peningkatan peran HMI di masa
mendatang, diwakili jargon “Pemihakkan kepada kaum tertindas” untuk kedaulatan
rakyat menuju masyarakat sejahtera dan adil. Juga memperjuangkan kedaulatan Hak
asasi rakyat. Sebagai misinya HMI harus mengadakan pendidikan politik yang
luas, mendalam dan kaya.
Sebagai Organisasi kepemudaan dan
kemahasiswaan, HMI sangat beruntung, kini HMI memiliki lingkungan yang horizontal, tangguh sekaligus kondusif
bagi perjuangan mengemban misinya. Dan bersifat vertikal melalui para alumninya.
Sebab, Alumni HMI adalah wujud nyata sumber daya manusia yang dicita-citakan
HMI, yaitu “Insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam” oleh
karena itu, HMI harus mempertahankan milik dan kehormatannya yang paling
berharga, yaitu independensi. Maka hubungan antara HMI, dan KAHMI sebaiknya
bersifat aspiratif dan konsultatif.
Lingkungan lain bagi HMI, yang
bersifat immediate adalah ICMI. Namun
ICMI bukan kelanjutan langsung dari HMI. ICMI mempunyai konsituensi yang
sekaligus lebih luas dan lebih sempit daripada HMI dan KAHMI. Lebih luas karena
para anggotanya tidak hanya berlatar belakang HMI, lebih sempit karena tidak
semua anggota HMI adalah anggota ICMI. Karena itu, ICMI dapat menjadi salah
satu sarana untuk memperjuangkan misinya.
AMAL
MUHAMMADIYAH MENJAWAB TANTANGAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Dari segi keanggotaan Muhammadiyah
adalah organisasi Islam “modernis” yang terbesar di dunia, juga sebagai
organisasi Islam yang relatif paling berhasil.terutama sebagai gerakan amaliah.
Namun, hal itu bisa dikatakan juga
sebagai suatu kekurangan, yaitu implikasi kurangnya wawasan sebagai perangkat
yang memberi kesadaran menyeluruh atas semua kegiatan amaliah juga sebagai
sumber energi bagi pengembangan dinamis dan kreatif. Karena dapat menimbulkan sistem
yang stagnan. Karena orientasi kepraktisan yang menjadi titik berat misi
organisasinya itu, maka Muhamadiyah menjadi lahan subur persemaian
produk-produk intelektual kelompok Islam.
Gerakan Muhammadiyah memiliki potensi untuk menjadi pemegang
tongkat estafet dari gagasan gagasan Muhammad Abduh, namun Muhammadiyah tampak
belum banyak menggarap bidang prinsipil ilmu kalam, Tawhid, atau Aqaid. Maka
kedepannya Muhammadiyah harus mengembangkan
“Ilmu Kalam” menggunakan metode
deduktif-rasionalistik-dialektis sebagai titik tolak tingkat awal bagi
pengembangan metode ilmu kalam untuk menjaga otentisitas, otoritas, sekaligus
kekayaan tradisi intelektual Islam yang baru, untuk memperoleh relevansi
kreatifitas yang optimal, juga memberi pemahaman dengan tepat dan esensial
hubungan organic antar iptek dan system keimanan.
RELEVANSI
KESUFIAN BUYA HAMKA
BAGI
KEHIDUPAN KEAGAMAAN INDONESIA
Buya
Hamka adalah seorang pemikir Islam Modernis yang paling subur di Indonesia. Beliau
adalah seorang otodidak yang memiliki kemampuan kognitif tinggi sehinnga beliau
sanggup menghimpun kemudian memproduksi sedemikian luas ilmu pengetahuan agama.
Kelebihan lainnya, beliau sanggup menyatakan pikiran dalam ungkapan-ungkapan
modern dan kontemporer. Dalam suasana pengaruh reformasi Buya Hamka
mengantarkannya menjadi salah seorang tokoh pembaharu yang unik dan penuh
pesona.
Hamka menunjukan minat intelektual
yang besar sekali terhadap tasawuf, beliau menyimpan apresiasi yang tinggi pada
inti ajaran kesufian. Sebagai seorang reformis dan modernis Buya Hamka
melancarkan kritik-kritik pedas terhadap tasawuf dan kaum sufi. beliau
menggunakan kategori analitis “sufisme-filosofis” untuk mengembangkan dan
meluruskan Ilmu Tasawuf.
Buya hamka mengikuti jejak pelopor
pembaruan, beliau memberantas mitologi yang ada pada saat itu. Karena setiap
mitologi adalah palsu dan tidak akan bertahan terhadap serangan rasionilitas. dan
itu semua adalah upaya yang
mengisyaratkan agar umat Islam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara
“tulen”.
Inti dari kesufian beliau sangat
relevan dengan kehidupan keagamaan dinegeri kita di masa mendatang. Juga
menjadi wahana bagi kreatifitas dan inovasi yang menjadi pijakan Ilmu
Pengetahuan.
PERAN
AGAMA DALAM PERUBAHAN MASYARAKAT
INDONESIA
YANG PLURALISTIK
Adanya keraguan antara ajaran suatu
agama dengan tingkah laku penganut agama tersebut, kenyataanya ialah banyak
orang serius memeluk agamanya, tanpa peduli pada tuntutan dalam perbuatan
tingkah laku. Namun, agama Islam sendiri memiliki peran positif dalam menaburkan
benih-benih sehat untuk tumbuhnya demokrasi, pluralism, dan egaliterianisme di
negara kita. Misalnya, jika kita menelaah sejarah, kita dapatkan bahwa ide-ide
tentang demokrasi modern diartikulasikan oleh para pemimpin politik dengan
latar belakang
Keagamaan yang kuat. Para agamawan
mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat modern yang demokratis dan pluralistik
seperti pernah dicontohkan oleh Masyumi pra -1955 tersebut.

BAGIAN
KETIGA
DIMENSI
SOSIAL BUDAYA PEMBANGUNAN DI INDONESIA
PEMBANGUNAN
NASIONAL
Dilema
Pertumbuhan dan Keadilan Sosial
Adanya dilema dalam pembangunan
Nasional antara pertumbuhan dan keadilan sosial itu dicerminkan dalam ungkapan
aleogoris tentang pembagian “Kue Nasional” apakah kita akan berusaha
memperbesar baru dibagi-bagi, ataukah segera membagi-bagi setiap warga Negara
setiap kali sepotong kue itu tercipta? sebab usaha pencptaan kemakmuran dirasakan
sebagai hal amat mendesak. Ini membawa kita kepada keadaan dilematis antara
imperative pertumbuhan ekonomi dan kewajiban moral menciptakan keadilan sosial.
Dilemma itu dalam kehidupan nasional
kita pada tahap perkembangan menunjukan pada peringkat pertama dimana tahap
pembangunan nasional harus dititik beratkan pada pelaksanaan pembangunan yang
lebih tulus dan substantif dari nilai-niali Pancasila.
Wujud paling nyata dari dilemma
pertumbuhan dan keadilan itu dapat dirasakan dibalik kenyataaan semakin
terpusatnya sumber-sumber daya di tempat-tempat tertentu di kota-kota besar. Dimana
konsentrasi modal, tenaga kerja, dan Informasi menghadirkan kapitalisme yang
tentu menghambat pembangunan nasional.
Karena cita-cita mewujudkan keadilan
sosial dalam situasi dilematis perkembangan Pembangunan negeri kita sekarang
menjadi kompleks sekali, maka imajinasi atau kreatifitas yang dibutuhkan tentu
harus bersifat kompleks. Dan kita harus mencoba dengan segala kemampuan kita
untuk mencari solusinya.
PEMBANGUNAN
SUMBER DAYA MANUSIA
MENYONGSONG
ERA TINGGAL LANDAS
Orde baru berhasil menciptakan iklim
keagamaan yang menguntungkan dengan berbagai hasil konkretnya saat ini. Maka,
seyogyanya hasil itu dijadikan landasan sumber daya manusia dengan didasari
semangat keagamaan. Yaitu pembangunan manusia Indonesia yang “taat menjalankan
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa” dan memiliki “toleransi
dalam kehidupan beragama”. Meskipun begitu, peluang itu perlu ditelaah kembali.
Pada “Era Tinggal Landas”, jika
pembangunan berjalan seperti dikehendaki, maka tempo dan ukuran perubahan akan
berlangsung lebih cepat dan lebih besar daripada yang terjadi selama ini. Oleh
karena itu, demi suksesnya perubahan positif secara mendasar dalam jangka
panjang, mutlak harus diperhatikan.
Tentu untuk mengantisipasi adanya
dampak perubahan pembangunan menyongsong Era Tinggal Landas perlu dibentuk
masyarakat ber-Ketuhanan yang Maha Esa agar masyarakat memiliki kesadaran umum
dan mendalam bagi setiap pemeluk agama tersebut. Kemudian, berbagai strategi
pembangunan jangka panjang akan memiliki landasan spiritual dan moral hirarki
nilai dalam agama. Kondisi ini diperlukan agar tidak terjadi kekacauan dan
pertukaran hirarki nilai.
DIMENSI
SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK NASIONAL
Sangat penting partisipasi masyarakat
dalam pembangunan politik sesuai dengan fungsi dan keahliannya masing-masing.
Budaya politik itu tumbuh dalam masyarakat sebagai hasil interaksi antara berbagai
faktor.
Bahkan ia tumbuh semenjak kanak-kanak
melalui pola pendidikan tertentu. Oleh karena itu, selalu ada “lowongan”untuk
suatu peranan intervensi dan pengarahan dalam bidang “pembangunan politik” ini.
Namun, ini berarti harus berlangsung dalam konteks budaya nasional. Karena
tindakan politik adalah termasuk tindakan budaya.
Untuk mengejar keteringgalannya dari
negari-negeri maju, dengan menciptakan stabilitas politik.“Partai Politik”
adalah kreasi abad modern, juga sebagai alat yang lebih luwes untuk memenangkan
dukungan rakyat disbandingkan dengan tentara atau birokrasi.
MASALAH
KONTINUITAS BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN
Kelestarian Budaya amat menjadi
penting, karena ketulusan serta kesungguhan berpikir dan berkepercayaan
memerlukan rasa keabsahan dan keontetikan. Namun, atavisme biasanya berjalan
seiring dengan sikap-sikap konservatif. Karena itu menghambat kemajuan dan daya
inovasi.dari sinilah mulai tampak persoalan kesinambungan dan keterputusan.
Maka, dalam keadaan tertentu diperlukan kemampuan “memutuskan” diri dari budaya
masa lampau yang negative, yang kemampuan itu sendiri dihasilkan oleh
sikap-sikap kritis yang membangun.
Jadi, dapat dikatakan bahwa
usaha-usaha penerapan nilai-niali budaya dalam pembangunan itu memerlukan
adanya keinsafan yang tulus dan otentik, yang mengacu pada kesinambungan dan
kontinuitas budaya, disamping menciptakan hal-hal baru dan membuat inovasi.
KEWIRAUSAHAAN
PRIBUMI DAN MASALAH BUDAYA
Membicarakan masalah “pribumi”
sesungguhnya merupaka epiter untuk golongan yang kurang beruntungyang
menyangkut warga Negara asli. Memang harus diakui bahwa susunan sosial-ekonomi
kita, jika digambarkan secara grafis berbentuk kerucut, yang berada di puncak
kerucut itu ialah mereka yang disebut golongan “non-pribumi” dan perlu bagi kita
mencari diagnosa dan terapinya untuk mengatasi persoalan tersebut.
Adanya perbedaan dalam kualitas
pendidikan mengakibatkan kesenjangan besar sekali dalam perolehan kesempatan.
Dan karena usaha pendidikan selau merupakan penanaman modal kemanusiaan dengan time of response yang panjang maka
akibat pendidikan kolonial itu pun dirasakan sampai sekarang. Tetapi,
kesenjangan itu bukan hanya disebabkan oleh warisan kolonial.

BAGIAN
KEEMPAT
DEMOKRASI
DI INDONESIA
DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI DI
INDONESIA
Demokrasi kita pandang sebagai suatu “cara”
mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Sedangkan demokratisasi
digunakan sebagai harapan menuju tinggal landas Indonesia menjadi negeri yang
maju. Demokrasi dan demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk
memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan asset nasional.
Berdasarkan kenyataannya, bangsa
Indonesia memang mempunyai system demokrasi yang lebih sesuai dengan keadaan
kita. Penerapan Ide ide demokrasi sejagad menurut kondisi Indonesia dan tingkat
perkembangannya.dalam Pancasila prinsip demokrasi itu terungkap dalm sila
keempat. Namun, untuk memandang seluruh sila itu tidak bisa dipisah-pisahkan.
Maka, antara “cara” dan “tujuan” pun tidak bisa dipisah-pisahkan satu dari yang
lain.
Di Indonesia sendiri, pandangan
demokrasi pancasila, harus secara tulus mencakup nilai hidup kemanusiaan yang
adil dan beradab. Demokrasi juga tidak mungkin berjalan tanpa ditegakkannya
hak-hak asasi manusia. Dan politik warga negara terfokus pada pelaksanaan
demokratis.
Hal lain yang sangat prinsipil dalam
demokrasi adalah kebebasan dan kerahasiaan dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Konstitusi kita menyatakan bahwa
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat merupakan tujuan negara.
Diantara tiga komponen-komponen primer demokrasi komponen “Sosial”, merupakan hal paling fundamental.
PROFESIONALISASI
POLITIK UNTUK PEMBANGUNAN DEMOKRASI
“Profesionalisme Politik”, harus dipandang sebagai
indikasi kepada suatu perkembangan sosial politik kita yang positif.
Perkembangan itu ialah adanya keberanian yang semakin meningkat untuk menyatakan suatu keinginan di bidang
politik. Namun, pelontaran sekitar gagasan “profesionalisme politik” tentu
mengimplikasikan penilaian bahwa system perpolitikan kita masih belum
professional, alias “amatir”. Oleh karena itu, dibalik pelontaran ide tersebut
terselip keinginan agar mutu perpolitikan kita, melalui aktor politiknya,
hendaknya ditingkatkan. Kita pun hendaknya, sikap yang pertama-tama harus
ditegakkan menghadapi berbagai pelontaran tuntunan itu ialah dengan memahami
dan menerimanya secara positif.
Jika proporsi artikulasi politik oleh kaum politisi
tergantung pada tingkat kemajuan masyarakat, maka Negara kita masih pada tahap
pertumbuhan yang meminta peranan lebih besar dari para politisi, namun pada
kenyataannya Golkar yang bukan organisasi politik memikul tanggung jawab lebih
besar dari pada partai lainnya. Dan berarti pula bahwa peningkatan mutu
profesionalisme politik lebih dituntut dari Golkar daripada yang lainnya. Kajian-kajian
tentang demokrasi juga menunjukkan bahwa pada masa-masa tertentu mengandung
pengertian yang bersifat mengejek dan menyindir. Secara konsepsional kini
demokrasi secara erat dikaitkan oleh Barat, namun Barat sendiri menganut
berbagai versi demokrasi, sesuai dengan kultur politik Negara yang bersangkutan.
Yang tidak kurang penting dalam profesionalisme
politik ini adalah penyadaran umum bahwa demokrasi mengimplikasikan kebebasan,
dan kebebasan menuntut tingkat kebranian yang tinggi untuk memikul tanggung
jawab dalam rangka pembangunan demokrasi.
PELAKSANAAN PANCASILA DAN DEMOKRASI
UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN NASIONAL
Pancasila adalah suatu kesatuan yang utuh. Oleh karena
itu pelaksanaan Pancasila pun harus utuh tanpa ada tekanan salah satu silanya
secara tidak beralasan. Dan perlu kita sadari bahwa antara sila-sila dalam
Pancasila tersebut ada kaitan yang sangat erat yang menjadi perekat bagi
keutuhan nilai ideologisnya.
Bentuk Negara kita adalah Negara demokrasi dan itu merupakan
salah satu unsur dorongan batin yang sangat kuat bagi mereka untuk berjuang
merebut, mempertahankan, dan kemudian mengisi kemerdekaan. Sedangkan Demokrasi
sendiri adalah suatu kategori yang dinamis. Ia senantiasa bergerak dan berubah,
kadang-kadang negatif, kadang-kadang positif.
Meskipun demikian menurut pengamatan Eichler,
Indonesia harus digolongkan sebagai “negara demokratis”. Dengan mengatakan
negara kita demokratis, kita terhindar dari kesulitan politik yang tidak perlu.
Dan yang lebih penting lagi kita harus menyisihkan ruang dan hak keabsahan bagi
diri kita untuk betul betul berpikir dan berperilaku demokratis sehingga bisa
digunakan untuk menuntut darui semua orang agar berbuat serupa, khususnya dari
mereka yang tergolong “penentu kecenderungan” dengan kekuasaan yang efektif
untuk mewujudkan ketahanan Nasional Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar